"selamat datang"
silahkan baca tata cara forum sebelum anda register..thanks
"selamat datang"
silahkan baca tata cara forum sebelum anda register..thanks
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Berdiskusi dan berkarya bersama di forum dengan sahabat sahabat semua merupakan kebanggaan tersendiri buat diri kita MARI KITA MAJUKAN FORUM
 
IndeksLatest imagesPendaftaranLogin
Google search
Logo maker

Kode Warna Teks:

Background Warna:

Teks :




 

 CERITA PENDEK

Go down 
PengirimMessage
frofume
*MODERATOR*
*MODERATOR*
frofume


Jumlah posting : 47
Join date : 04.04.10
Lokasi : demak

CERITA PENDEK Empty
PostSubyek: CERITA PENDEK   CERITA PENDEK Icon_minitimeWed Apr 07, 2010 3:48 am

The Sunset

Suatu sore yang tenang.

Setelah berkendara selama setengah jam dari tempat audisi, aku terkejut dengan sambutan di balik pintu apartemenku. Andy sang manajer, Julian pemilik JS entertainment, Rui penata riasku, Sano sang stylis brilliant, beberapa kru dan penari. Aku tak melihat Mei di antara keriuhan, sementara terompet ditiup dan kertas warna-warni bertaburan di atas kepalaku. Tapi aku sedang tidak berulang tahun hari ini. Tidak juga untuk beberapa bulan ke depan.
Read more (1053 words)

“Selamat! Dany, kamu terpilih menjadi pemeran utama untuk serial terbaru kita.” Andy memelukku. Begitu pula yang lain bergantian menyalami dan memberi ucapan selamat. Aku memang pernah ditawari untuk serial tersebut tapi masih meragukan kemampuan diri sendiri. Aku tak pernah bermain di serial ataupun film sebelumnya.

Jadi ini memang kabar mengejutkan, menggembirakan sekaligus membuatku bertanya-tanya. Telah sejauh apa aku kini mendaki? Masih tak tercapaikah puncak itu? sehingga aku masih harus menggapai-gapai lagi di ketinggian?

Tempat tinggalku benar-benar sukses dikacaukan. Mereka minum dan makan, tertawa, dan berbicara keras ketika mulai mabuk. Aku hanya memandangi saja semua kegembiraan atas diriku, menatapnya dengan berjarak. Tak ingin mendekat. Hanya berdiri di batas. Sekat antara aku dan mereka hanyalah beberapa gelas alkohol di meja. Aku meneguknya juga sedikit dengan kepala masih dipenuhi tanya, dimana gadis itu? Dimana potongan puzzle-ku?

Suara operator di seberang menjawab ketidaktenanganku sesaat tadi. Ponselnya tidak aktif. Aku menyentuh lagi beberapa menu di layar, mencoba menemukan nomornya yang lain. Sama saja. Kedua-duanya dimatikan. Kurasakan sepasang tangan halus memelukku tiba-tiba dari belakang, dari balik sandaran sofa. Sebuah wajah mengendus pipiku dan aku segera mengenalinya sebagai penata riasku, Rui.

Gadis itu mengoceh tak karuan, tersedak dan cegukan. Sangat mabuk rupanya. Aku melepaskan diri darinya dan mendudukkannya di sofa, tapi dia mulai menyerang yang lainnya termasuk bosnya sendiri. Kutinggalkan ruangan yang berantakan dengan orang-orang yang mulai kehilangan kesadaran.

Langit menjadi kemerahan di barat sana. Aku bertumpu ke kusen jendela besar di kamarku dan menatapi kejauhan dengan kerisauan yang sudah lama tak kurasakan; mengkhawatirkan seseorang. Pagi tadi aku masih mendengar suaranya yang pamit ke suatu tempat. ‘Menemui seseorang,’ ujar gadis itu dengan suara yang kini kusadari terlalu diriang-riangkan. Mungkin dia ingin merahasiakannya dariku, sehingga merasa tak perlu menyebutkan nama. Jadi aku enggan menanya lebih jauh. Aku hanya berpesan padanya agar hati-hati mengemudikan mobilnya. Dia berjanji segera pulang sebelum malam.

Saat ini telah beranjak gelap. Terhalang beberapa bangunan aku masih melihat arakan awan dan sekelompok burung yang terbang melintasi langit senja. Gadis itu tampaknya belum kembali juga. Aku mengecek ke temannya yang tinggal bersebelahan. Mungkin sebentar lagi, aku menyabarkan diri.

Hingga Andy yang terakhir meninggalkan apartemenku menepuk pundakku, mengingatkan sebuah acara jumpa fans besok, dia belum juga menelepon dan masih gagal pula ditelepon. Aku menyumpah-nyumpah pada suara di mesin otomatis di seberang sana yang terus mengulang pemberitahuan yang sama.

Aku melewati ruangan depan yang nyaris tak berbentuk lagi. Inilah bagian yang tak menyenangkannya. Mereka hanya meninggalkan sampah dan pergi tanpa berbelas kasihan padaku. Jelas sekali mengerjaiku. Bagaimana aku bisa mengembalikan semuanya ke posisi semula. Aku tak punya waktu untuk lelucon ini. Andy tadi malah memberikan tips-tips cepat membereskan semua yang berserakan dengan memasukkan saja semua benda yang kutemui ke dalam kantung sampah tanpa memilah apakah yang kudapati nanti kotak cd, asbak rokok, botol-botol dan kaleng atau malah beberapa catatan not yang tak sempat kubereskan sebelum pergi tadi pagi. Aku meringis mendengar tawanya yang lenyap ke dalam lift.

Kadang teman-teman adalah orang yang paling menyebalkan.

Pukul sembilan malam ketika gadis itu tiba di apartemenku yang telah dirapikan. Udara pengap sisa-sisa pesta telah lenyap berganti wangi lemon. Dia tampak lelah saat menghempaskan diri di sofa. Aku menyodorkan segelas soda dingin yang diterimanya dengan ucapan terima kasih dan segaris senyum tipis yang terasa kering. Aku membaui ketidaknyamanan dari pertemuan yang tidak direncanakan malam ini.

“Seorang teman lama menawariku sebuah pekerjaan….” Dia meletakkan gelas di meja dan mengatakan kalimat itu tanpa menatapku. Wajahnya jatuh pada meja berukir di depannya. Ada yang ingin dia sembunyikan.

Aku mencoba melihatnya dari sebuah jarak yang kukira bisa menggali sesuatu itu. Pekerjaan apa yang lebih baik dari yang sekarang dimilikinya?

“Pekerjaan?” Aku memandangnya dengan mata setengah terpicing.

Dia menyentuh rambut di sisi wajahnya dengan gerakan resah, menyelipkannya ke belakang telinga. Masih menghindari mataku. Dan aku mulai tak suka. Aku tak suka karena dia mencoba menyembunyikan sesuatu dariku dan aku tak berhasil menebaknya.

“Aku pernah bilang dulu, kalau aku bercita-cita menjadi guru menari anak-anak. Cita-cita sejak kecil. Pekerjaanku yang sekarang bukannya tidak lebih baik. Tapi masih menyisakan ketidakpuasan di hati. Aku ingin melakukan hal yang sangat lama ingin kulakukan. Aku akan mendengarkan kata hatiku kali ini. Kurasa sudah cukup aku mengikuti takdirku hingga hari ini. Aku akan merubah garis hidupku. Lagipula bukan sesuatu yang sulit kurasa.” Sesekali matanya melintas pula dalam garis pandang yang sama denganku.

“Lalu?” Aku ikut meneguk isi gelasku sedikit, menyesap rasa manis dari minuman.

“Lagipula mungkin sekarang saatnya kita harus mengakhiri sandiwara ini….” Dia mengatakannya dengan nada ragu dan sedikit tersendat.

Aku menangkupkan kedua tanganku, dengan siku bertumpu di lutut, menatapnya lekat-lekat dari atas jari-jariku. “ Jadi karena itu?” Jadi karena sandiwara hubungan kami yang menghebohkan publik, yang ditayangkan di banyak acara infotainment? Sepertinya gadis ini mulai tak tahan dengan semua tekanan yang mulai kembali menghimpit kami.

Apa sudah punya rencana menikah? Apa kedua keluarga sudah pernah saling bertemu? Bagaimana hubungan dengan mantan? Bila aku dengan sabar menjawab semua pertanyaan para pencari berita, Mei harus bersusah payah tersenyum ke kamera. Aku sudah mengajarinya menjawab beberapa pertanyaan yang sudah diprediksi sejak awal. Tapi tetap saja dia gagal menyembunyikan emosinya.

“Bukan!” Mei menyahut cepat sembari menggeleng kuat-kuat. Dia tampak seperti anak kecil yang berusaha meyakinkan orangtuanya bahwa dia tidak berbuat sesuatu kenakalan hari itu. “Ini rencana lama….”

“Jadi memang karena itu.” Aku menarik diri ke sandaran. Tak peduli dengan penyangkalannya. “Oke. Kita akhiri. Tapi kau tak perlu menggunakan alasan serumit itu. Kau juga tak perlu pergi jauh-jauh untuk menghindariku.”

“Tapi aku tak….”

“Sudahlah. Tak apa.” Aku tersenyum padanya. Dalam hatiku aku bertanya-tanya, benarkah tak apa-apa pula bagi gadis itu? Karena aku membaca sesuatu yang kabur di sana di sekitarnya. Aku takut telah menyakitinya.

Ini bukan hal yang benar-benar kuinginkan kurasa. Tapi aku sangat lelah untuk memikirkannya. Aku hanya mengantarkan gadis itu ke mobilnya dan masih menatapi kepergiannya dengan kekosongan hati yang tak ingin ku pelajari malam ini. Akan ada saat untuk memikirkannya atau mungkin tak ada waktu sama sekali nantinya. Sandiwara, warna-warna, potongan puzzle, orang-orang yang tiba-tiba selalu muncul di depanku, aku memandang mobilnya yang beranjak meninggalkan parkiran dengan kedua tangan tersembunyi di dalam saku. Aku mungkin tak akan pernah punya waktu untuk mendengarkan kata hatiku sendiri.




Senior dan Junior?

Angga tahu benar kakak kelasnya, Putri Brian Kasha Fisastra, sejak dulu paling bahaya nonton film atau baca novel sedih.
Bukan atas alasan Brian akan menangis tersedu-sedu hanyut dalam cerita, namun kondisinya tidak memungkinkan.
Tapi Brian juga paling tidak bisa dinasehati. Dia masih suka menonton film sedih dan novel-novel sastra yang... bisa membuatnya kolaps selama sehari penuh.
Ya, Brian memang luar biasa penuh penghayatan. Angga sampai uring-uringan.

"Aduuuh Kak Briaaan, kan aku udah bilang jangan banyak baca buku!" Angga merebut buku kesayangan Bia, Aerial.
"Buku itu jendela ilmu, Ga!" Brian merengut.
"Aku tahu! Tapi kalau gitu, Kakak bisa baca buku biologi, atau fisika, kan?" elak Angga.
Brian cuma bisa diam. Ia tahu, kalau dalam kondisi kritis seperti ini, ia sama sekali tak boleh tegang. Atau, Angga bisa repot karenanya.
Penyakit jantung bawaan, penyempitan dada yang terjadi karena pneumonia, plus sarafnya yang belum benar-benar pulih dari kelumpuhan membuat Brian merasa benar-benar lemah, apalagi di hadapan Angga, adik kelasnya satu ini.
"Berikan aku buku itu kembali."
"Tidak."
"Angga!" Angga tetap menggeleng dan menaruh Aerial di rak tertinggi di ruang baca rumah Brian.
"Nah, Kakak ambil saja buku biologi yang lebih rendah posisinya."
"HUH! Tak sopan sekali kau!"
"Kak Brian memang kakak kelasku, tapi aku lebih tua 9 bulan dari Kak Brian."

***

Huh, Anggasurya Hadhian! Adik kelas yang lebih tua dari Brian. Orang paling populer satu sekolah. Satu-satunya orang yang paling tahan dibentak-bentak, dicela-cela Brian.
Orang yang paling merasa aman berada kala berada di dekat Brian.
Dan orang yang disukai semua perempuan di sekolah, kecuali Brian. Itulah salah satu alasan Angga demen dekat-dekat Brian.
Walaupun... Alasan yang jauh lebih logis lainnya berjejer di daftar 'alasan mengapa dekat-dekat Brian yang galak, kejam, kasar, sarkastis... dan lainnya.'
"Lihat saja nanti, Ga, aku mau nonton 3 Idiots!" Brian mencoba mengancam dan melampiaskan kekesalannya.
"Oh ya, sebelum kau pergi aku akan menginapkan krukmu di rumah."
Brian diam seribu bahasa dengan perasaan luar biasa kesal.

***

"Pergi kau dari sini!" Brian mengusir Angga cepat-cepat. "Dan aku sangat berterimakasih atas bantuannya selama ini! Namun, apabila kau terlalu lama diam disini, aku terlalu merepotkanmu,"
"Baiklaah..." Angga mulai memakai sepatunya. "Kakak kelasku yang CANTIK."
"Makin lama, kau makin menyebalkan. Pintar sekali kau mengikut kebiasaan burukku untuk mencela orang." ujar Brian.
"Oh ya?"
"Begitulah. Sayang sekali aku sedang tidak mood."
"Oh, baguslah, aku rak ada saingan!"

***

Lahir di keluarga Fisastra, dengan saudara laki semua, Brian menjadi putri paling cantik, tentu saja.
Lagipula, Brian ini aslinya memang sangat cantik, luar biasa cerdas, berbakat... Walau hanya beberapa orang saja yang tahu di SMA-nya.
Brian, memang terdengar cukup sangara panggilannya, jauh brbeda dengan wajah ayunya.
Angga dan Brian memang satu SMP, beda SMA. Beda grade, Brian diatas Brian setahun. Apalagi, di SMA Brian sekarang ini program akselerasi terbuka lebar untuknya yang ber IQ 140 dan juara umum. Adit akan jauh tersusul, padahal ANGGA lebih tua dari Brian. Brian akan lulus SMA di umur 15 tahun.

Pernah suatu saat, tanpa sadar Angga meminta Brian mengajarinya fisika--secara tak langsung merendahkan dirinya dan membuat Brian diatas angin.
"Kau sudah belajar yang ini? Sewaktu aku kelas segini, aku belajar segini." pernah suatu saat Bia sibuk mengajari Angga. fisika.
"Hah? Aku tak mengerti." Angga mengeleng.
"Ga! kau ini seharusnya lebih pintar dariku!"
"..."

Kadang-kadang Angga jadi kesal sendiri, bisa-bisanya Brian lebih jenius dari dirinya. Apalagi, Angga ini cowok. Apalagi...

Sejak SMP kelas 3, Brian dan Angga jadi dekat, setelah Angga tahu, ia satu-satunya kakak kelas yang tidak tertarik menggemasinya--dicubit, rambutnya diacak-acak, dan... sampai diajak pacaran--dan Brian seorang kakak kelas yang sangat teladan, plus kasar, tidak seperti perempuan lainnya.
Tapi, di balik kasarnya Brian, seperti sudah diceritakan diatas, aslinya Brian begitu rapuh.



JIKA MENCITAIMU ADALAH

Jika mencintaimu adalah mendengarkan semua nasihat darimu dengan penuh khidmat sembari meminum dinginnya green tea di terik siang, maka akan kulumat semua nasehatmu tanpa bisa kumuntahkan kembali.

Jika mencintaimu adalah mengajarkanku menelusuri peta-peta kota Jakarta dengan baik tanpa didampingi lagi olehmu, maka akan kukatakan pada diriku sendiri bahwa kau sedang mengajariku mandiri.

Jika mencintaimu adalah melaksanakan kata menunggu kala tengah malam bahkan sampai aku tertidur lalu bangun kembali di depan layar monitor hanya untuk berkata syukurlah kau sudah pulang dengan selamat, maka kata menunggu tak lagi membosankan untukku tapi kini menjadi sebuah kenikmatan yang sulit aku lukiskan.

Jika mencintaimu adalah tentang bagaimana menerima sisi buruk dan baik seorang manusia dengan mengambil hikmah dari apa yang telah Tuhan ciptakan tentang baik dan buruk, maka sebuah keburukan maupun kebaikan kini memiliki kata seimbang bagiku.

Jika mencintaimu adalah memperlajari seorang pria yang tidak suka minum kopi dan akhirnya terpaksa meminumnya dengan alasan ditraktir, maka aku belajar bagaimana menghargai pemberian yang tidak kita suka dari orang lain.

Jika mencintaimu adalah mengajarkanku bagaimana bersosialisasi dengan baik, maka perlahan kucari celah darimu lalu kupinta kau mengelurkanku dari alam maya yang penuh kamuflase ini.

Jika mencintaimu adalah mencari dan memperhatikan tiap detail apa yang kamu lakukan dari hari ke hari, maka diam-diam aku selalu berdoa untukmu agar setiap detail yang kamu lakukan akan menjadikanmu lebih baik dari hari kemarin. Berdoa agar kau selalu diberi perlindungan dari bahaya apapun karena hanya dengan doa aku mencintaimu.

Jika mencintaimu adalah tentang bagaimana mengendalikan kata cinta itu sendiri atas nama tahu diri, maka aku akan melakukannya asal tidak berjauhan denganmu, asal kau tidak pergi.

Jika mencintaimu adalah sebuah harapan dilema, maka aku akan mencari hikmah kenapa aku harus mencintaimu.

Jika mencintaimu adalah suatu pembenaran bahwa cinta ini bukan aku yang mau dan cinta ini bukan tercipta dari keinginan semata, maka aku akan menutup telingaku rapat-rapat atas perkataan orang-orang yang cenderung menyalahkanku mencintaimu. Kupikir tidak ada yang salah dan dosa dari cinta.

Jika mencintaimu adalah mengeja tiap butir air mata yang jatuh karena kerinduan, maka aku belajar bagaimana mengatasi bias rindu tanpa obat.

Jika mencintaimu adalah menikmati tiap detak jantung dan menghitung kecepatan debarannya ketika aku tanpa sengaja menyebut namanu, maka diam-diam aku sedang bejalar matematika kehidupan.

Jika mencintaimu adalah merasakan kehangatan untuk pertama kalinyan di antara tusukan-tusukan air hujan, maka kini aku tahu betapa nyamannya jika ada seorang pria yang memberikan kita kehangatan di tengah terpaan dingin air hujan.

Jika mencintaimu adalah menjadikanku lebih dewasa, maka aku akan menempuhnya sebagai manusia yang lapang dada.


Jika mencintaimu adalah membuatku belajar tentang keikhlasan memberi, maka akan kuselimuti hatiku dengan kata tulus tanpa beban.

Jika mencintaimu adalah belajar melepaskan, maka aku akan melepas tanpa rasa sakit.

Jika mencintamu adalah mengubah cinta menjadi sebuah kasih sayang, maka aku akan berusaha sekeras mungkin untuk mengubahnya dan berdoa kepada Tuhan semoga akan datang yang lebih baik jika kamu bukan untukku.

Jika mencintaimu adalah belajar melupakan, maka aku akan bilang padamu bahwa aku ini ada dan tak ingin dilupakan atau melupakan.

Dan aku memilih mencintaimu dengan pasrah.

INGKARAN

Tahu logika matematika kan? Kita berdua sama-sama mempelajarinya; salah satu bahan yang kata si guru akan keluar pada Ujian Nasional nanti. Tapi entahlah, mungkin kau tidak berminat. Matematika bukan pelajaran terbaikmu, seperti aku juga. Oh iya, omong-omong soal itu, apakah kau juga menyimpan fakta itu dalam sakumu, bahwa kita mendapatkan nilai yang sama jeleknya di try out matematika kemarin?
Read more (722 words)

Ah, kurasa tidak. Beberapa minggu yang lalu—bukan minggu-minggu terbaik dalam hidupku, kurasa aku hanya sedikit lebih memperhatikanmu daripada sebelum-sebelumnya. Tentang betapa obrolan mengalir deras ketika aku berbincang denganmu, tentang betapa kau selalu berusaha membuatku tertawa gara-gara leluconmu yang—sebenarnya, kasar juga tidak lucu-lucu amat, tentang betapa kita mempunyai orientasi minat yang kurang lebih sama, juga tentang betapa kita sudah berteman selama bertahun-tahun namun tak pernah benar-benar mengenal satu sama lain.

Aku begitu gundah waktu itu. Begitu banyak masalah; siapa ingin berteman dengan siapa, blablabla tak ingin berteman lagi dengan blablabla, si anu merasa si anu menusuknya dari belakang, dan sebagainya. Mereka bilang itu tanda-tanda kita mulai dewasa, tapi tidakkah seseorang sadar, bahwa kita lebih terlihat seperti kembali ke jaman SD dulu? Waktu orang-orang bermusuhan gara-gara hal sepele, saling meniup jari kelingking, dan menghindar satu sama lain layaknya kutub magnet sejenis? Masalah hormonal, makanan sehari-hari remaja. Dan itu pula yang membuatku melihatmu dari sudut pandang berbeda, kurasa. Aku jadi ingin tahu.

Apakah jarak sejauh tiga tahun itu pernah kau isi dengan menjadikanku sebagai obyek status-statusmu di facebook, yang acapkali bicara tentang cinta? Atau pernahkah kau teringat akan tingkahku yang mana saja, kemudian membuatmu tertawa sendiri ketika sedang duduk di toilet? Lebih dari sekali, kau mengajakku beradu telapak tangan, mentertawai ukuran tanganku yang lebih kecil seruas dibandingkan tanganmu yang besar namun kurus. Apakah kau senang melakukannya, sama sepertiku, atau kau hanya diam-diam mengukur pertumbuhanku dari tahun ke tahun? Apa yang ada di dalam kepalamu waktu kau bilang aku terlalu sibuk ‘bermesraan’ dengan sahabat-sahabat baruku, dan sambil lalu memintaku lebih sering menoleh ke belakang sana, tempat dudukmu? Dari mana kau selalu memanggil namaku untuk menunjukkan hal-hal yang menurutmu lucu supaya bisa kita tertawai bersama?

Aku tenggelam dalam tanya, bergelut, terhanyut, kemudian bergerak ke arah satu kesimpulan:

Rupanya selama ini aku mengharapkanmu. Sedikit. Sedikit saja. Kau selalu di pojok sana, untuk disapa dan diajak bicara. Untuk ditanyai, diajak berdiskusi. Untuk diajak bercanda, untuk menjadikanku bahan ejekkan. Untuk diandalkan, kadang-kadang. Untuk diperhatikan, jika aku menyadarinya sedikit lebih awal. Beberapa bulan yang lalu, aku tidak melihatmu karena ada Si Bintang Terang di sana. Tahun lalu, aku tidak melihatmu karena sibuk bercanda dengan teman-temanku. Dua tahun lalu, aku bahkan tidak tahu kau ada di sana karena ada begitu banyak hal dalam kepalaku.

Ada banyak hal, tapi baru sekarang aku menyadari bahwa mungkin saja, aku suka padamu.

Sekarang, bagaimana aku harus memandang semua itu? Kutelan bulat-bulat si buah simalakama. Salah melangkah, maju salah mundur juga salah. Kini memandang wajahmu lebih dari tiga detik saja aku tidak sanggup. Kalau kau memang pernah menyukaiku, maka salahkulah kalau sekarang kau tak lagi berharap padaku. Dan kalau selama ini kau hanya mencoba bersahabat denganku—hal yang selalu kulewatkan dalam jangka waktu tiga tahun terakhir—maka salahku juga karena saat ini, detik ini, segenap jiwa ragaku, setiap serat dalam tubuhku, berjuta sel pembentuk otakku, sudah mengakui bahwa aku suka padamu.

Kita tak bisa seperti dulu. Atau tepatnya aku tidak bisa kembali seperti dulu. Seperti dulu, mentertawakan lelucon-lelucon garing, berdiskusi soal mata pelajaran yang sama-sama menjadi favorit kita itu. Kau tidak lagi mengambil barang-barangku dan meletakkannya di bagian puncak papan tulis yang tak bisa kugapai, seperti dua tahun lalu waktu kita kelas satu. Aku tidak lagi bertandang ke mejamu sekedar untuk mengobrol, dan kau tidak lagi menyapaku pada pagi hari saat kita jadi dua orang pertama yang tiba di kelas. Posisiku sudah digantikan, entah oleh gadis mana saja yang sering mengajakmu mengobrol pada sela-sela pergantian pelajaran, atau entah siapa yang kau antar pulang itu dengan motormu.

Entah kita saling mengingkar, atau sesungguhnya kita berdua hanya menyerah atas maksud kedekatan yang tidak lagi sinkron?
____
Premis 1: Aku mencuri pandang ke arahmu.
Premis 2: Kupikir aku menangkap basah tatapanmu pada punggungku.
Premis 3: Kita saling beradu pandang atau kau sedang memandangi kursi kosong di depanku.
Premis 4: Jika aku melakukan hal-hal konyol di kelas, maka kau menatapku tajam sambil geleng-geleng kepala.
____
Premis 5: Suatu hari, semua orang di dunia kecuali aku tahu kau punya gebetan di kelas bawah. Pada hari valentine, kau memberinya hadiah. Kemarin anak itu berulang tahun, dan entah kenapa hari ini kau senang sekali.
Kesimpulan:
Kebenaran mengingkar.

Pada akhirnya, hal-hal semacam ini tak bisa dirumuskan. Bahkan oleh logika matematika. Apalagi kau dan aku.



Lolita

Aku mematutkan diriku di depan kaca. Setelan baju ala pelayan seksi seperti yang ada di sebuah anime menempel pas pada tubuhku. Aku menatapnya senang. Sudah lama aku ingin mengenakan baju seperti ini. Namun aku malu memperlihatkannya. Teman-temanku pun tak tahu bahwa aku terobsesi pada pakaian yang merupakan salah satu bentuk dari Gothic Lolita ini. Ya, aku ingin menggunakannnya pada perayaan cosplay nanti yang diselenggarakan oleh salah satu universitas swasta di Jakarta.

Aku nekad memesannya ketika ada iklan di sebuah majalah yang menerima penjahitan cosplay. Setelah bernegoisasi dan mengungkapkan keinginanku dengan Sang Designer, aku pun mentransfer uang sebanyak 300.000 rupiah. Hasil tabungan rahasiaku. Karena jika aku meminta kepada orang tuaku, pasti mereka menolak. Apalagi mengingat mereka berasal dari generasi jaman dulu yang begitu kolot dan kaku.

Aku menduga mereka akan melotot dan memarahiku habis-habisan begitu mereka mengetahui aku mengenakan pakaian ini. Namun tidak untuk hari ini. Karena kebetulan mereka tengah bergelut dengan tugas-tugas kantor yang menumpuk, sehingga aku leluasa mencoba pakaiannya.

Pakaian berwarna hitam dengan sedikit renda warna putih itu sangat kontras dengan kulitku yang pucat. Aku lalu mengenakan stocking hitam yang kubeli diam-diam untuk menambah kesan seksi pada diriku. Sebagian rambutku yang panjang sebahu ku ikat dua. Aku lalu memakai bedak dan memoleskan lipstick berwarna merah menyala pada bibirku. Lalu aku mengenakan eye liner yang kubeli dengan cara memesan pada temanku yang sekolah di salah satu pesantren di desanya. Voila! Aku tampak cantik sekarang! Lolita cantik ini akan beraksi! Batinku puas.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekati kamarku yang gawatnya lupa kukunci. Kudengar Ibu berteriak-teriak, “Alvin! Kamu di mana nak?”

Oh my Gosh!

THE END















[b]
Kembali Ke Atas Go down
 
CERITA PENDEK
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Cerita Lucu
» CERITA JAWA

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
 :: *kumpulan cerita-
Navigasi: